Menjelang Kelahiran Nabi Muhammad saw
Juni
19, 2007 oleh ari2abdillah
Muhammad adalah
keturunan Nabi Ismail -nabi dengan 12 putra yang menjadi cikal bakal bangsa
Arab. Para nenek moyang Muhammad adalah
penjaga Baitullah sekaligus pemimpin masyarakat di Mekah, tempat yang menjadi
tujuan bangsa Arab dari berbagai penjuru untuk berziarah setahun sekali.
Tradisi ziarah yang sekarang, di masa Islam, menjadi ibadah haji. Salah seorang
yang menonjol adalah Qusay yang hidup sekitar abad kelima Masehi.
Tugas Qusay sebagai
penjaga ka’bah adalah memegang kunci (‘hijabah’), mengangkat panglima perang
dengan memberikan bendera simbol yang dipegangnya (‘liwa’), menerima tamu
(‘wifadah’) serta menyediakan minum bagi para peziarah (‘siqayah’).
Ketika lanjut usia,
Qusay menyerahkan mandat terhormat itu pada pada anak tertuanya, Abdud-Dar.
Namun anak keduanya, Abdul Manaf, lebih disegani warga. Anak Abdul Manaf adalah
Muthalib, serta si kembar siam
Hasyim dan Abdu Syam yang harus dipisah dengan pisau. Darah tumpah saat
pemisahan mereka, diyakini orang Arab sebagai pertanda keturunan mereka bakal
berseteru.
Anak-anak Abdul
Manaf mencoba merebut hak menjaga Baitullah dari anak-anak Abdud-Dar yang
kurang berwibawa di masyarakat. Pertikaian senjata nyaris terjadi. Kompromi
disepakati. Separuh hak, yakni menerima tamu dan menyediakan minum, diberikan
pada anak-anak Abdul Manaf. Hasyim yang dipercaya memegang amanat tersebut.
Anak Abdu Syam,
Umayah, mencoba merebut mandat itu. Hakim memutuskan bahwa hak tersebut tetap
pada Hasyim. Umayah, sesuai perjanjian, dipaksa meninggalkan Makkah. Keturunan
Umayah -seperti Abu Sofyan maupun Muawiyah- kelak memang bermusuhan dengan
keturunan Hasyim.
Hasyim lalu menikahi
Salma binti Amr dari Bani Khazraj -perempuan sangat terhormat di Yatsrib atau
Madinah. Mereka berputra Syaibah (yang berarti uban) yang di masa tuanya
dikenal sebagai Abdul Muthalib -kakek Muhammad. Inilah ikatan kuat Muhammad
dengan Madinah, kota
yang dipilihnya sebagai tempat hijrah saat dimusuhi warga Mekah. Syaibah
tinggal di Madinah sampai Muthalib -yang menggantikan Hasyim karena
wafat-menjemputnya untuk dibawa ke Mekah. Warga Mekah sempat menyangka Syaibah
sebagai budak Muthalib, maka ia dipanggil dengan sebutan Abdul Muthalib.
Abdul Muthalib
mewarisi kehormatan menjaga Baitullah dan memimpin masyarakatnya. Namanya
semakin menjulang setelah ia dan anaknya, Harits, berhasil menggali dan
menemukan kembali sumur Zamzam yang telah lama hilang. Namun ia juga sempat
berbuat fatal: berjanji akan mengorbankan (menyembelih) seorang anaknya bila ia
dikaruniai 10 anak. Begitu mempunyai 10 anak, maka ia hendak melaksanakan
janjinya. Nama sepuluh anaknya dia undi (‘kidah’) di depan arca Hubal. Abdullah
-ayah Muhammad-yang terpilih.
Masyarakat menentang
rencana Abdul Muthalib. Mereka menyarankannya agar menghubungi perempuan ahli
nujum. Ahli nujum tersebut mengatakan bahwa pengorbanan itu boleh diganti
dengan unta asalkan nama unta dan Abdullah diundi. Mula-mula sepuluh unta yang
dipertaruhkan. Namun tetap Abdullah yang terpilih oleh undian. Jumlah unta
terus ditambah sepuluh demi sepuluh. Baru setelah seratus unta, untalah yang
keluar dalam undian, meskipun itu diulang tiga kali. Abdullah selamat.
Peristiwa besar yang
terjadi di masa Abdul Muthalib adalah rencana penghancuran Ka’bah. Seorang
panglima perang Kerajaan Habsyi (kini Ethiopia ) yang beragama Nasrani,
Abrahah, mengangkat diri sebagai Gubernur Yaman setelah ia menghancurkan
Kerajaan Yahudi di wilayah itu. Ia terganggu dengan reputasi Mekah yang menjadi
tempat ziarah orang-orang Arab. Ia membangun Ka’bah baru dan megah di Yaman,
serta akan menghancurkan Ka’bah di Mekah. Abrahah mengerahkan pasukan gajahnya
untuk menyerbu Mekah.
Mendekati Mekah,
Abrahah menugasi pembantunya -Hunata-untuk menemui Abdul Muthalib. Hunata dan
Abdul Muthalib menemui Abrahah yang berjanji tak akan mengganggu warga bila
mereka dibiarkan menghancurkan Baitullah. Abdul Muthalib pasrah. Menjelang
penghancuran Ka’bah terjadilah petaka tersebut. Qur’an menyebut peristiwa yang
menewaskan Abrahah dan pasukannya dalam Surat Al-Fil. “Dan Dia mengirimkan
kepada mereka “Toiron Ababil”, yang melempari mereka dengan batu-batu cadas
yang terbakar, maka Dia jadikan mereka bagai daun dimakan ulat”.
Pendapat umum
menyebut “Toiron Ababil” sebagai “Burung Ababil” atau “Burung yang
berbondong-bondong”. Buku “Sejarah Hidup Muhammad” yang ditulis Muhammad Husain
Haekal mengemukakannya sebagai wabah kuman cacar (mungkin maksudnya wabah Sampar
atau Anthrax -penyakit serupa yang menewaskan sepertiga warga Eropa dan Timur
Tengah di abad 14). Namun ada pula analisa yang menyebut pada tahun-tahun itu
memang terjadi hujan meteor -hujan batu panas yang berjatuhan atau ‘terbang’
dari langit. Wallahua’lam. Yang pasti masa tersebut dikenal sebagai Tahun Gajah
yang juga merupakan tahun kelahiran Muhammad.
Pada masa itu,
Abdullah putra Abdul Muthalib telah menikahi Aminah. Ia kemudian pergi
berbisnis ke Syria .
Dalam perjalanan pulang, Abdullah jatuh sakit dan meninggal di Madinah.
Muhammad lahir setelah ayahnya meninggal. Hari kelahirannya dipertentangkan
orang. Namun, pendapat Ibn Ishaq dan kawan-kawan yang paling banyak diyakini
masyarakat: yakni bahwa Muhammad dilahirkan pada 12 Rabiul Awal. Orientalis
Caussin de Perceval dalam ‘Essai sur L’Histoire des Arabes’ yang dikutip Haekal
menyebut masa kelahiran Muhammad adalah Agustus 570 Masehi. Ia dilahirkan di
rumah kakeknya -tempat yang kini tak jauh dari Masjidil Haram.
Bayi itu dibawa
Abdul Muthalib ke depan Ka’bah dan diberi nama Muhammad yang berarti “terpuji”.
Suatu nama yang tak lazim pada masa itu. Konon, Abdul Muthalib sempat hendak
memberi nama bayi itu Qustam -serupa nama anaknya yang telah meninggal. Namun
Aminah -berdasarkan ilham-mengusulkan nama Muhammad itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar